SEJARAH GURINDAM
Gurindam secara umum, semula dipahami sebagai dua baris
perkataan yang menjadi peribahasa atau pepatah. Mengingat pesan yang
dikandungnya berisi nasihat atau peringatan, maka dalam masyarakat
Melayu, gurindam sering dianggap sejenis dengan kata mutiara. Ia ditulis di
halaman buku atau ditempel di dinding sebagai penghias. Kadang kala diucapkan
oleh para tetua desa pada acara-acara tertentu sebagai nasihat atau peringatan.
Mereka menganggap bahwa nasihat seperti itu sebagai sesuatu yang patut
disampaikan dan diresapi pendengarnya. Perhatikan contoh
gurindam berikut ini:
Kurang pikir kurang siasat,
Tentu dirimu kelak tersesat.
Kalau mulut tajam dan kasar,
Boleh ditimpa bahaya besar.
Bagi masyarakat Melayu khususnya, kedua gurindam itu niscaya
sudah tidak asing lagi. Banyak di antara anggota masyarakat yang sengaja
membuat gurindam sekadar untuk memberi nasihat atau peringatan kepada orang
lain. Ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya sudah akrab dengan jenis
puisi ini, tetapi juga sangat peduli pada sesamanya, yang diwujudkan
dengan sikap saling menasihati. Itulah sebabnya, betapapun syair dan
pantun pada mulanya lebih dikenal luas, gurindam tetap saja
banyak ditulis atau diucapkan sebagai salah satu sarana untuk
menyampaikan nasihat.
“Pamor” gurindam kemudian meningkat dan
boleh dikatakan sejajar dengan pantun atau syair, setelah Raja Ali
Haji memperkenalkan karyanya Gurindam Dua Belas. Orang pun lalu
lebih banyak mengutip karya Raja Ali Haji itu dalam menyampaikan
nasihatnya. Sedangkan tradisi penulisan gurindam sejak Raja Ali
Haji, tidak banyak diketahui, bagaimana perkembangannya. Apakah
sampai kini gurindam masih ditulis orang atau tidak, juga sulit untuk
menjawabnya. Yang pasti, Gurindam Dua Belas masih tetap
dibaca orang dan diteliti oleh para sarjana berbagai bangsa.
***
Gurindam berasal dari bahasa Sansekerta. Namun ada juga
yang berpendapat berasal dari bahasa Tamil. Yang menjadi ciri
khasnya adalah bentuknya yang terdiri dari dua baris yang rima
akhirnya sama. Baris pertama berupa isyarat, peringatan atau semacam soal, dan
baris kedua berupa akibat atau jawabannya.
Lalu, apa yang sesungguhnya disebut gurindam? Wilkinson,
seorang sarjana Inggris, menyebut gurindam sebagai “sesuatu pepatah berangkap
yang disebutkan berpadan dengan tempatnya” Sedangkan Van Ronkel,
sarjana Belanda menyebut gurindam sebagai spreukdicht (seloka).
Sebenarnya, masih banyak definisi yang dikemukakan para sarjana. Namun, yang
paling mula membuat definisi mengenai gurindam adalah Raja Ali Haji
(1809-1870); Pujangga Riau yang terkenal dengan karyanya Gurindam Dua
Belas.
Menurut Raja Ali Haji, “gurindam adalah perkataan yang
bersajak pada akhir pasangannya (:rima akhir), tetapi sempurna
perkataannya dengan syarat dan sajak yang kedua itu seperti jawab.”
Dalam hal ini, berapa jumlah kata dalam setiap barisnya, tak dipersoalkan.
Yang penting adalah kesamaan rima akhir. Jadi, jika dikatakan
”bersajak pada akhir pasangannya,” ini berarti setiap pasangannya
itu terdiri dari dua baris. Baris pertama sebagai
syarat dan baris yang kedua sebagai akibat atau jawabannya.
Adapun dalam setiap baitnya, yang oleh Raja Ali Haji disebut
sebagai Fasal, tidak pula dikatakan jumlah barisnya. Jadi seperti juga jumlah
kata dalam setiap barisnya, jumlah baris dalam setiap pasalnya (bait) pun, tak
ada ketentuannya yang pasti. Dengan perkataan lain, satu rangkap gurindam hanya
terdapat dua baris, dan tidak empat baris, seperti pantun atau syair.
Walaupun begitu, mengenai jumlah kata dalam setiap
barisnya kebanyakan terdiri atas empat atau lima kata. Tetapi,
sering pula tidak terikat oleh jumlah kata, karena kesamaan
rima akhirnya itulah yang diutamakan. Karena tidak adanya
keseragaman mengenai jumlah kata dalam setiap barisnya, tidak
seperti pantun atau syair, maka definisi yang kemukakan
sebagian besar sarjana menyebut gurindam sebagai bentuk puisi lama yang
tidak tetap ukuran jumlah kata dan jumlah barisnya. Perhatikan
gurindam berikut ini yang diambil dari Gurindam Dua Belas karya
Raja Ali:
Pasal Kesepuluh: // Pasal Kesebelas:
Dengan bapa jangan durhaka // Hendaklah berjasa
Supaya Allah tidak murka // Kepada yang sebangsa
Dengan ibu hendaklah hormat // Hendaklah jadi
kepala
Supaya badan dapat selamat // Buang perangai yang
cela
Dengan anak janganlah alpa // Hendaklah memegang
amanat
Supaya malu jangan menimpa // Buanglah khianat
Dengan kawan hendaklah adil // Hendaklah mulai
Supaya tangan jadi kepil // Jangan melalui
***
Dari hampir semua gurindam yang ada, yang
menonjol adalah pesan yang terkadung dalam nasihatnya. Sebagian besar
menyangkut ajaran agama, etika, moral dan adat, baik yang disampaikan secara
langsung, maupun secara kiasan. Mengingat nasihat-nasihat yang
disampaikannya menyangkut peri kehidupan manusia di dunia ini, maka selama
manusia mempunyai penyakit akhlak dalam batinnya, selama itu pula nasihatnya
akan tetap relevan sesuai dengan perkembangan zaman.
Demikianmlah, sungguhpun sekarang ini, gurindam lebih banyak
dibicarakan sebagai pengetahuan mengenai kesusastraan
Melayu klasik, nasihat-nasihat yang dikandungnya perlulah menjadi
bahan renungan kita agar kehidupan kita di dunia ini, tetap sejalan
dengan ajaran agama, sesuai dengan etika yang berlaku, serta tetap
menjunjung tinggi moral kemanusiaan. Maka, tidaklah mubazir jika kita masih
terus mau menyimak dan meresapi kedalaman nasihat-nasihat dalam
karya sastra lama itu.
Sebagai penutup, renungkanlah perkataan Raja Ali Haji
berikut ini: “Hati itu kerajaan di dalam tubuh/ jikalau zalim segala
anggota pun rubuh.”
Komentar