Masuknya Islam Ke Indonesia
Ditinjau dari sudut sejarah, agama Islam
masuk ke Indonesia melalui berbagai cara. Pada umumnya pembawa agama Islam
adalah para pedagang yang berasal dari jazirah Arab, mereka merasa berkewajiban
menyiarkan agama Islam kepada orang lain. Agama Islam masuk ke Indonesia dengan
cara damai, tidak dengan kekerasan, peperangan ataupun paksaan.
Ada beberapa pendapat para ahli tentang
waktu dan daerah yang mula-mula dimasuki Islam di Indonesia, di antaranya
yaitu:
A. Drs
Juned Pariduri, berkesimpulan bahwa agama Islam pertama kali masuk ke Indonesia
melalui daerah Sumatra Utara (Tapanuli) pada abad ke-7. Kesimpulan ini
didasarkan pada penyelidikannya terhadap sebuah makam Syaikh Mukaiddin di
Tapanuli yang berangka tahun 48 H (670 M).
B. Hamka,
berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Jawa pada abad ke-7 M(674). Hal ini
didasarkan pada kisah sejarah yang menceritakan tentang Raja Ta-Cheh yang
mengirimkan utusan menghadap Ratu Sima dan menaruh pundi-pundi berisi emas
ditengah-tengah jalan dengan maksud untuk menguji kejujuran, keamanan dan
kemakmuran negeri itu. Menurut Hamka, Raja Ta-Cheh adalah Raja Arab Islam.
C. Zainal
Arifin Abbas, berpendapat bahwa agama Islam masuk di Sumatra Utara pada abad 7
M (648). Beliau mengatakan pada waktu itu telah datang di Tiongkok seorang
pemimpin Arab Islam yang telah mempunyai pengikut di Sumatra Utara.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut,
dapat disimpulkan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M. Pada
abad ke-13 agama Islam berkembang dengan pesat
ke seluruh Indonesia. Hal itu di tandai dengan adanya penemuan-penemuan
batu nisan atau makam yang berciri khas Islam, misalnya di Leran (dekat Gresik)
terdapat sebuah batu berisi keterangan tentang meninggalnya seorang perempuan
bernama Fatimah binti Maimun pada tahun 1082 dan di Samudra Pasai terdapat
makam-makam Raja Islam, di antaranya Sultan Malik as-Shaleh yang meninggal pada
tahun 676 H atau 1292 M.
Berbeda dengan pendapat di atas, dua orang
sarjana barat yaitu Prof. Gabriel Ferrand dan Prof. Paul Wheatly. Bersumber
pada keterangan para musafir dan pedagang Arab tentang Asia Tenggara, maka ke-2
sarjana tersebut bahwa agama Islam masuk ke Indonesia sejak awal ke-8 M,
langsung dibawa oleh para pedagang dan musafir Arab.
2.2.
Corak dan Perkembangan Islam di Indonesia
A.
Masa Kesultanan
Untuk melihat lebih jelas gambaran
keislaman di kesultanan atau kerajaan-kerajaan Islam akan di uraikan sebagai
berikut.
Di daerah-daerah yang sedikit sekali di
sentuh oleh kebudayaan Hindu-Budha seperti daerah-daerah Aceh dan Minangkabau
di Sumatera dan Banten di Jawa, Agama Islam secara mendalam mempengaruhi
kehidupan agama, sosial dan politik penganut-penganutnya sehingga di
daerah-daerah tersebut agama Islam itu telah menunjukkan diri dalam bentuk yang
lebih murni.
Di kerajaan Banjar, dengan masuk Islamnya
raja, perkembangan Islam selanjutnya tidak begitu sulit karena raja
menunjangnya dengan fasilitas dan kemudahan-kemudahan lainnya dan hasilnya
mebawa kepada kehidupan masyarakat Banjar yang benar-benar bersendikan Islam.
Secara konkrit, kehidupan keagamaan di kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan
adanya mufti dan qadhi atas jasa Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam
bidang fiqih dan tasawuf. Di kerajaan ini, telah berhasil pengkodifikasian
hukum-hukum yang sepenuhnya berorientasi pada hukum islam yang dinamakan
Undang-Undang Sultan Adam. Dalam Undang-Undang ini timbul kesan bahwa kedudukan
mufti mirip dengan Mahkamah Agung sekarang yang bertugas mengontrol dan kalau
perlu berfungsi sebagai lembaga untuk naik banding dari mahkamah biasa.
Tercatat dalam sejarah Banjar, di
berlakukannya hukum bunuh bagi orang murtad, hukum potong tangan untuk pencuri dan mendera bagi yang
kedapatan berbuat zina.
Guna memadu penyebaran agama Islam dipulau
jawa, maka dilakukan upaya agar Islam dan tradisi Jawa didamaikan satu dengan
yang lainnya, serta dibangun masjid sebagai pusat pendidikan Islam.
Dengan kelonggaran-kelonggaran tersebut,
tergeraklah petinggi dan penguasa kerajaan untuk memeluk agama Islam. Bila
penguasa memeluk agama Islam serta memasukkan syari’at Islam ke daerah
kerajaannya, rakyat pun akan masuk agama tersebut dan akan melaksanakan
ajarannya. Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan yang berada di bawah
kekuasaannya. Ini seperti ketika di pimpin oleh Sultan Agung. Ketika
Sultan Agung masuk Islam, kerajaan-kerajaan yang ada di bawah kekuasaan Mataram
ikut pula masuk Islam seperti kerajaan Cirebon, Priangan dan lain sebagainya.
Lalu Sultan Agung menyesuaikan seluruh tata laksana kerajaan dengan
istilah-istilah keislaman, meskipun kadang-kadang tidak sesuai dengan arti
sebenarnya.
B.
Masa Penjajahan
Ditengah-tengah proses transformasi sosial
yang relatif damai itu, datanglah pedagang-pedagang Barat, yaitu portugis,
kemudian spanyol, di susul Belanda dan Inggris. Tujuannya adalah menaklukkan
kerajaan-kerajaan Islam Indonesia di sepanjang pesisir kepulauan Nusantara ini.
Pada mulanya mereka datang ke Indonesia
hanya untuk menjalinkan hubungan dagang karena Indonesia kaya akan
rempah-rempah, tetapi kemudian mereka ingin memonopoli perdagangan tersebut dan
menjadi tuan bagi bangsa Indonesia.
Apalagi setelah kedatangan Snouck Hurgronye
yang ditugasi menjadi penasehat urusan pribumi dan Arab, pemerintah
Hindia-Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan mengenai masalah Islam di
Indonesia karena Snouck mempunyai pengalaman dalam penelitian lapangan di
Negeri Arab, Jawa dan Aceh. Lalu ia mengemukakan gagasannya yang di kenal
dengan politik Islam di Indonesia. Dengan politik itu ia membagi masalah Islam
dalam tiga kategori, yaitu:
1. Bidang
agama murni atau ibadah;
2. Bidang
sosial kemasyarakatan; dan
3. Politik.
Terhadap bidang agama murni, pemerintah
kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran
agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah
memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku sehingga pada waktu itu dicetuskanlah
teori untuk membatasi keberlakuan hukum Islam, yakni teori reseptie yang
maksudnya hukum Islam baru bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan
alat kebiasaan. Oleh karena itu, terjadi kemandekan hukum Islam.
Sedangkan dalam bidang politik, pemerintah
melarang keras orang Islam membahas hukum Islam baik dari Al-Qur’an maupun
Sunnah yang menerangkan tentang politik kenegaraan atau ketatanegaraan.
C.
Gerakan dan organisasi Islam
Akibat dari
“resep politik Islam”-nya Snouck Hurgronye itu, menjelang permulaan abad
xx umat Islam Indonesia yang jumlahnya semakin bertambah menghadapi tiga
tayangan dari pemerintah Hindia Belanda, yaitu: politik devide etimpera,
politik penindasan dengan kekerasan dan politik menjinakan melalui asosiasi.
Namun, ajaran Islam pada hakikatnya terlalu
dinamis untuk dapat dijinakkan begitu saja. Dengan pengalaman tersebut, orang
Islam bangkit dengan menggunakan taktik baru, bukan dengan perlawanan fisik
tetapi dengan membangun organisasi. Oleh karena itu, masa terakhir kekuasaan
Belanda di Indonesiadi tandai dengan tumbuhnya kesadaran berpolitik bagi bangsa
Indonesia, sebagai hasil perubahan-perubahan sosial dan ekonomi, dampak dari
pendidikan Barat, serta gagasan-gagasan aliran pembaruan Islam di Mesir.
Akibat dari situasi ini, timbullah
perkumpulan-perkumpulan politik baru dan muncullah pemikir-pemikir politik yang
sadar diri. Karena persatuan dalam syarikat Islam itu berdasarkan ideologi
Islam, yakni hanya orang Indonesia yang beragama Islamlah yang dapat di terima
dalam organisasi tersebut, para pejabat dan pemerintahan (pangreh praja) ditolak dari keanggotaan itu.
Persaingan antara partai-partai politik itu
mengakibatkan putusnya hubungan antara pemimpin Islam, yaitu santri dan para
pengikut tradisi Jawa dan abangan. Di kalangan santri sendiri, dengan lahirnya
gerakan pembaruan Islam dari Mesir yang mengompromikan rasionalisme Barat
dengan fundamentalisme Islam, telah menimbulkan perpecahan sehingga sejak itu
dikalangan kaum muslimin terdapat dua kubu: para cendekiawan Muslimin
berpendidikan Barat, dan para kiayi serta Ulama tradisional.
Selama pendudukan jepang, pihak Jepang
rupanya lebih memihak kepada kaum muslimin dari pada golongan nasionalis karena
mereka berusaha menggunakan agama untuk tujuan perang mereka. Ada tiga
perantara politik berikut ini yang merupakan hasil bentukan pemerintah Jepang
yang menguntungkan kaum muslimin, yaitu:
1. Shumubu,
yaitu Kantor Urusan Agama yang menggantikan Kantor Urusan Pribumi zaman
Belanda.
2. Masyumi,
yakni singkatan dari Majelis Syura Muslimin Indonesia menggantikan MIAI yang
dibubarkan pada bulan oktober 1943.
3. Hizbullah,
(Partai Allah dan Angkatan Allah), semacam organisasi militer untuk
pemuda-pemuda Muslimin yang dipimpin oleh Zainul Arifin.
2.3.
Tokoh-Tokoh Dalam Perkembangan Islam Di Indonesia
Proses penyebaran Islam di wilayah
Nusantara tidak dapat dilepas dari peran aktif para ulama. Melalui merekalah
Islam dapat diterima dengan baik dikalangan masyarakat. Di antara Ulama
tersebut adalah sebagai berikut:
A. Hamzah
Fansuri
Ia hidup pada masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda sekitar tahun 1590. Pengembaraan intelektualnya tidak hanya di
Fansur-Aceh, tetapi juga ke India, Persia, Mekkah dan Madinah. Dalam
pengembaraan itu ia sempat mempelajari ilmu fiqh, tauhid, tasawuf, dan sastra
Arab.
B. Syaikh
Muhammad Yusuf Al-Makasari
Beliau lahir di Moncong Loe, Gowa, Sulawesi
Selatan pada tanggal 3 Juli 1626 M/1037 H. Ia memperoleh pengetahuan Islam dari
banyak guru, di antaranya yaitu; Sayid Ba Alwi bin Abdullah Al-‘allaham (orang
Arab yang menetap di Bontoala), Syaikh Nuruddin Ar-Raniri (Aceh), Muhammad bin
Wajih As-Sa’di Al-Yamani (Yaman), Ayub bin Ahmad bin Ayub Ad-Dimisqi Al-Khalwati
(Damaskus), dan lain sebagainya.
C. Syaikh
Abdussamad Al-Palimbani
Ia merupakan salah seorang ulama terkenal
yang berasal dari Sumatra Selatan. Ayahnya adalah seorang Sayid dari San’a,
Yaman. Ia dikirim ayahnya ke Timur Tengah untuk belajar. Di antara ulama
sezaman yang sempat bertemu dengan beliau adalah; Syaikh Muhammad Arsyad
Al-Banjari, Abdul Wahab Bugis, Abdurrahman Bugis Al-Batawi dan Daud Al-Tatani.
D. Syaikh
Muhammad bin Umar n-Nawawi Al-Bantani
Beliau lahir di Tanar, Serang, Banten.
Sejak kecil ia dan kedua saudaranya, Tamim dan Ahmad, di didik oleh ayahnya
dalam bidang agama; ilmu nahwu, fiqh dan tafsir. Selain itu ia juga belajar
dari Haji Sabal, ulama terkenal saat itu, dan dari Raden Haji Yusuf di
Purwakarta Jawa Barat. Kemudian ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji
dan menetap disana kurang lebih tiga tahun. Di Mekkah ia belajar Sayid Abmad bi
Sayid Abdurrahman An-Nawawi, Sayid Ahmad Dimyati dan Sayid Ahmad Zaini Dahlan.
Sedangkan di Madinah ia berguru kepada Syaikh Muhammad Khatib Sambas
Al-Hambali. Selain itu ia juga mempunyai guru utama dari Mesir.
Pada tahun 1833 beliau kembali ke Banten.
Dengan bekal pengetahuan agamanya ia banyak terlibat proses belajar mengajar
dengan para pemuda di wilayahnya yang tertarik denga kepandaiannya.. tetapi
ternyata beliau tidak betah tinggal di kampung halamannya. Karena itu pada
tahun 1855 ia berangkat ke Haramain dan menetap disana hingga beliau wafat pada
tahun 1897 M/1314 H.
E. Wali
Songo
Dalam sejarah penyebaran Islam di
Indonesia, khususnya di pulau Jawa terdapat sembilan orang ulama yang memiliki
peran sangat besar. Mereka dikenal dengan sebutan wali songo.
Para wali ini umumnya tinggal di pantai
utara Jawa sejak dari abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-16. Para wali
menyebarkan Islam di Jawa di tiga wilayah penting, yaitu; Surabaya, Gresik dan
Lamongan (Jawa Timur), Demak, Kudus dan Muria (Jawa Tengah), serta di Cirebon
Jawa Barat. Wali Songo adalah para ulama yang menjadi pembaru masyarakat pada
masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru seperti, kesehatan,
bercocok tanam, niaga, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan hingga
pemerintahan.
Adapun wali-wali tersebut yaitu; Maulana
Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan
Gunung Jati, Sunan Drajat, Sunan Kudus dan Sunan Muria.
Komentar